Ingatkah kawan kita pernah saling memimpikan?
Berlari-lari ‘tuk wujudkan kenyataan
Lewati segala keterasingan
Lalui jalan sempit yang tak pernah bertuan
Ingatkah kawan kita pernah berpeluh cacian?
Digerayangi dan digeluti kesepian
Walaupun sejenak lepas dari beban
‘Tuk lewati ruang gelap yang teramat dalam
Hidup ini hanya kepingan yang terasing di lautan
Memaksa kita merendam kepedihan
Tapi kita juga pernah duduk bermahkota
Pucuk-pucuk mimpi yang berubah jadi nyata
Dicumbui harumnya putik-putik bunga
Putik impian yang telah membawa kita lupa
Hidup ini hanya kepingan yang terasing di lautan
Memaksa kita merubah jadi tawa…
Menikmati lagu ini mengingatkan gue akan film Music and Lyrics, dibintangi Hugh Grant ‘en Drew Barrymore, ada satu scene saat si Hugh bilang dia adalah pencipta musik, bukan penulis lirik, bagi dia lirik nggak begitu penting. Lalu si Drew bilang begini : “No, you’re wrong. Musik itu ibarat pertemuan pertama. Daya tarik fisik. Seks. Tapi begitu kau mengenalnya, itulah lirik. Kisah mereka. Siapa kau di dalamnya. Kombinasi keduanyalah yang menjadikannya istimewa”.
Bener banget Drew! Seperti lagu Kesepian Kita ini misalnya. Sebenarnya ini juga bukan lagu terfavorit atau apa sampe2 gue mengangkatnya di sini, tapi yah berdasarkan apa yang Drew bilang tadi, menurut gue lagu ini adalah lagu2 semacam itu, lagu yang adalah kombinasi istimewa dari musik dan liriknya. Musiknya, jangan ditanya. Pas bangetz! Terus liriknya. Lirik yang mampu membuat sebagian besar orang diam dan melayang ke dalam lagu tersebut, seakan kita yang menyanyikannya sendiri, menjernihkan kembali perjalanan hidup kita, apa, siapa, dimana, kapan, mengapa dan bagaimana.
Gue pribadi, kalo menikmati musik ini baik2, yang ada di kepala adalah bayangan akan temen2 lama, teman semasa pertumbuhan hingga menjelang dewasa. Masa-masa dimana jati diri adalah yang terpenting dicari-cari. Masa-masa dimana kekacauan paling sering terjadi. Dan masa-masa dimana kedewasaan akhirnya tumbuh dari semua kekacauan itu.
Bayangan pertama yang muncul adalah, Lauren**. Gue ingat jelas saat-saat kami saling menjajaki ilmu dengan semangat tinggi. Lalu ia ‘tewas’ dengan sukses saat menikah di usia teramat muda, paksaan orangtua. Membuat limbung tak hanya ia, tapi juga gue, karena nggak ada lagi clicked partner in crime mengais2 dunia dengan mata kami yang haus. Membuat kami jadi malas dan apatis. Bayangkan! Apatis di usia muda? Itu adalah nightmare bagi Indonesia! Lalu Bondan**. Gue ingat dia saat dengan desperate-nya ia mengumumkan bahwa idola kami, Kurt Cobain bunuh diri! Lalu saat-saat kami membahas sejumlah options juga cerita bahwa ada fans Kurt di tanah Amerika sana yang saking desperado-nya juga ikut bunuh diri dengan mengurung diri dalam lemari berhari2. What a tragic and funny in a way. Lalu ada juga Karenina**. Gue ingat saat kami berjalan bersama menekuri tanah dan ia bercerita bagaimana ia takut terhadap sosok seorang Ayah. Dan bagaimana ia bertekad untuk berani pada akhirnya, mencoba melindungi ibu dan adik2nya dari kekacauan si troublemaker. Lalu Donny**. Gue ingat jelas bagaimana gue belajar menikmati hidup itu sebenarnya. Juga sekumpulan orang lainnya. Shasha**, Wayan**, Humaira**, Ahmady**, dan banyak lagi. Makna mereka persis sepotong kalimat di serobekan kertas koran kumal yang ditempel seorang sobat lama di agendanya : Betapa berharganya arti seorang sahabat!
No comments:
Post a Comment