Sekitar akhir September lalu, seorang teman menulis di wall, “Mel, lo mesti baca Kompas hari ini. Rubrik Komunitas. Lo banget!” Sejenak saya surprised. Teman yang satu ini memang sobat lama, his name is Kahar, tapi saya nggak nyangka kalau dia mengenal saya sampai segitunya. Penasaran, langsung saya hunting koran setelahnya. Perjalanan panjang berburu koran, hampir lima lokasi semua Kompas amblas tak tersisa, dipenuhi keingintahuan luar biasa, kira-kira tentang apa ya? Semenjak kuliah saya ikutan mapala. Sobat lama yang saya sebutkan tadi juga saya kenal dari lingkungan mapala. Dan hingga menjadi ibu dua malaikat kecil, kebetulan komunikasi terhadap lingkungan tersebut jalan terus. Jadi yang ada di kepala saya hanyalah asumsi jangan-jangan Manunggal Bhawana ~ nama mapala di kampus saya dulu, masuk Kompas! Waaah, really excited deh. Kasihan juga sama suami yang mestinya sudah bisa istirahat di rumah, saya paksa temani berburu hingga larut malam. Pokoknya judulnya mesti dapat! ;p
Di kios kecil depan lapas penjara, notabene adalah lokasi ketujuh, akhirnya saya berhasil memperolehnya. Dengan sabar, saya bahkan membolak-balikkan halamannya di atas motor yang tengah melaju kencang, karena dua malaikat kecil di rumah bersikeras tidak mau tidur kecuali menunggu dongeng ibunya. Tak sampai lima menit, mata saya kepentok satu judul yang amat sangat mencengangkan: “Pokoknya Pearl Jam, Titik!”. Begitu kukuh dan abadi. Saya benar-benar tak mengira. Sesuatu yang “Lo banget!” itu adalah Pearl Jam. Bukan mapala, dunia yang saya akui berhasil membesarkan saya. Rasa hangat perlahan memenuhi dada. Teringat dunia hingar bingar kekacauan yang sengaja tak sengaja saya lupakan sejak delapan tahun yang lalu. Ah, gila! Hidup memang gila! Living in a fast line benar-benar membuat saya menjadi tua dan ‘tersesat’. Dan satu kalimat, hanya satu kalimat, sanggup menyihir saya dan menyadarkan kembali siapa jati diri saya yang sebenarnya. Yeah! That’s me. That’s always me. Meli Vedder. A real Jam-Head. Bahkan di dunia mapala, saya selalu meninggalkan jejak dimanapun sebagai seorang Meli Vedder. Bagaimana saya bisa ignore? Menikmati kemewahan album deluxe Lost Dogs di satu hari dan minggu besoknya melupakannya begitu saja? Menemukan album singles di satu toko kaset dengan mata berbinar-binar dan hati yang melompat-lompat, untuk kemudian memandang datar ke deretan album-album tersebut? Penuh semangat menelusuri artikel wawancara dan embel-embelnya di internet dan menyusunnya di satu bundel besar, untuk kemudian melemparnya ke gudang? Bagaimana saya bisa???? Aaaarrrrrggghh…..!!! Crazy Meli, that’s me!
Beribu sesal akhirnya melahirkan beribu terima kasih kepada si sobat lama, big thank’s, brader Kahar, yang telah mengantarkan saya tiba di satu titik balik sebagai seorang Jammer. Saya pun langsung bergerak. Menelusuri keberadaan PJId yang tak disangka begitu produktif, melebur jadi membernya, meski akhirnya mesti puas hanya dengan menjadi non aktif karena kewalahan membaca satu-demi-satu email yang diterima milis *T-i-m-e is priceless to me, cuiiih ;p* dan akhirnya me-resetnya dengan tidak menerima email milis via email pribadi. What a lame. Saya pun me-request pertemanan sejumlah Jammers via facebook, especially the administrators, dalam rangka news tetap ter-up-to-date in a flexible way. Langkah selanjutnya adalah mengobrak-abrik gudang mencari cd/kaset album dan singles juga kompilasi yang terselip nggak keruan. Hasilnya amat menyedihkan. Sebagian besar sudah jamuran. Kumpulan artikel historis dan perjalanan PJ, lirik, foto dan sticker yang saya jilid jadi satu bundel besar, telah memudar hasil print-annya dan lebih celaka lagi, lembarannya kebanyakan sudah menempel, tidak bisa dibuka satu per satu. Tragis. Untungnya, sebuah novel jadi-jadian yang tak pernah saya terbitkan dengan cover Eddie Vedder tengah duduk di atas kloset tertutup, menulis sesuatu dengan kepala tertunduk, dengan rambut tergerai liar dan kaki kanan terongkang di atas kaki kiri, tentu saja tak ketinggalan dengan Doc Marten-nya yang melegenda, semburat warna merah gelap memenuhi gambar, menampilkan nuansa remang abu yang hebat, sukses saya temukan secara utuh. How lucky I am! Pic itu adalah gambar terfavorit saya. Karena pic tersebut berhasil merekam sosok Eddie sebenarnya, bahwa di balik penampilan the coolest vocalist, terdapat pribadi yang senantiasa mempertanyakan dunia dalam perenungan lirik lagunya. Really admires him, dude!
Selain novel jadi-jadian, ternyata saya masih punya back up lagu-lagu Pearl Jam hingga era Lost Dogs di portable harddisk. Oke, modal yang cukup untuk memulai start menggali kembali informasi all about PJ. Apalagi seorang teman baik PJId asal Makassar , bung Ipul, bahkan mengenalkan saya filosofi “Spread The Jam”-nya PJId, dan ia rela mengirimkan sebundel cd koleksi album PJ. Big thank’s to bung Ipul!!!
Yah, tak dinyana, menyelamatkan spirit yang telah lama ‘tersesat’ cukup membuat saya stres. Antara memiliki proyek besar dan sangat bersemangat untuk menyelesaikannya, tapi tak punya waktu cukup adalah kegilaan sementara. Faktor x lainnya adalah status saya yang kini sudah bisa punya uang sendiri dan berani punya mimpi jadi member tenclub (daftar mesti bayar $25), membeli merchandise-merchandisenya yang teramat sangat menggiurkan (khususnya 2008 Ten Super Deluxe Edition seharga $140), serta mengkoleksi kembali semua albumnya physically (how much money!), sementara si Ayah hanya berkomentar pendek, “Band apaan tuh, nggak pernah denger namanya”. Hahahaha.
“All evenings close like this.
All these moments that I’ve missed.
Please forgive me, won’t you dear?
Please forgive and let me share with you around the bend.”
No comments:
Post a Comment