Di usia mereka yang masih balita, Ozza dan Naula sudah menjadi pecinta film. Setiap hari saya membereskan koleksi film mereka, tapi baru kali ini saya terbersit untuk menuliskannya. Awalnya saya memang bangga bahwa saya punya cara untuk membuat mereka diam barang sebentar, dan mereka lumayan jarang menonton tivi yang banyak iklan yang bisa merusak kemampuan konsentrasi mereka. Tapi beberapa hari yang lalu di koran saya menemukan istilah yang agak membuat was-was: PENONTON PASIF. Oh my God! Kedengarannya saja sudah tidak mengenakkan di telinga dan tanpa mencari tahu lebih banyak, saya langsung ngerti bahwa saya harus membuat keputusan penting yang bakal mengecewakan anak2. Mengurangi jatah mereka nonton film!
Tentu saja mereka protes berat, tapi untungnya mereka mau mengerti, dan uwak Nah, sepupu jauh ibu yang bersedia menemani anak2 kalau saya dan Ivan bekerja, juga mau bekerja sama. No more movies or games for schoolday. Ini sudah berjalan sekitar seminggu dan ujung2nya malah saya yang nggak tega. Apalagi habit ayahnya yang nggak bisa lepas dari tivi juga ikut berpengaruh. Sedikit membuat stres. Ingin yang terbaik buat anak, tapi tekad kami nggak sekuat itu. Kami hanya ingin mereka bahagia. Apalagi setelah saya analisa secara abal-abal, kuncinya adalah mencari film yang membuat mereka menjadi penonton aktif. Hehehe.
Salah satunya adalah tokoh kartun bernama Mumu. Ia makhluk lucu mirip ikan lumba-lumba tapi punya kaki, tinggal sendirian di pulau Muwa yang sepi yang hanya ditumbuhi sebatang tunas yang bisa mengeluarkan nectar (minuman yang sangat lezat) yang menjadi makanan Mumu. Meski sendirian Mumu tak pernah kesepian karena banyak hewan2 lain yang mampir ke pulau, mulai dari ulat bulu, kepiting, kunang2, bebek mainan, sampai ikan paus. Serial home video berjudul MumuHug ini saya temukan di hamparan CD-CD film yang didiskon di Gramedia. Saya tertarik saat membaca gambaran tokohnya :
“Mumu adalah makhluk tak berdosa, manis dan mudah penasaran yang hidup sendiri di suatu pulau di tengah lautan – dan sangat suka memeluk! Ingatlah, Mumu akan selalu ada di hatimu dan siap untuk memberikan pelukannya yang hangat!”
pic source : kidmango.com
Hmm, lumayan kan? Waktu itu saya pikir pelukan yang hangat pastilah dibutuhkan untuk membentuk kepribadian anak yang hangat. Pribadi yang hangat pastilah disukai oleh semua orang bukan? Dan saya ingin anak-anak itu disukai banyak orang tidak hanya dari kecerdasannya, tapi lebih utama dari pribadinya yang hangat. Well, sebenarnya saya sendiri pribadi yang cuek sih, hehehe, tapi saya bisa berpura-pura hangat jika situasi mengharuskan begitu. Hihihi. An antisocial person wanna make a social person. Yup, bahkan penderita sinisme akut seperti saya pun mengakui kalau being a social person is definitely more fun!
Bagaimana film ini membuat anak2 menjadi penonton aktif? Well, ceritanya sederhana, lucu, tapi ada beberapa hal baru yang bisa menambah wawasan mereka. Bahwa Mumu yang tinggal sendirian di pulau pasti mengundang berjuta pertanyaan. Benar saja. Ozza yang kritis segera nyerocos. Seperti : kenapa Mumu tinggal sendirian di pulau? Orangtuanya kemana? Terus yang cariin makan siapa? Kok bisa Mumu cari makan sendiri? Apa dia nggak mau minum susu? Mumu itu binatang ya? Mukanya seperti lumba-lumba tapi kok punya kaki? Kok dia nggak bisa ngomong? Fiuuuh, melelahkan! Tapi inilah yang saya suka. Memaksa saya untuk kreatif mencari jawaban yang mudah dicerna oleh anak2.
Meski kami bukan orangtua yang sempurna, khusus untuk yang satu ini saya dan Ivan bertekad untuk terus berusaha menjawab pertanyaan mereka selogika mungkin, seserius mungkin, nggak ngasal, sejak mereka sudah pintar bertanya, karena kami ingin mereka tetap kritis dan terbuka hingga dewasa. Gara-gara ada beberapa anak teman yang tadinya sewaktu kecil bersemangat tanya apa saja, tapi setelah besar jadi pendiam dan malas bertanya hanya karena orangtuanya malas dan capek menjawab, karena pertanyaannya itu-itu saja. Padahal kenapa mereka menanyakan hal yang sama adalah karena belum tergambar jelas di otak kecil mereka kenapa bisa begini, kenapa bisa begitu. Sementara orangtua hanya memberikan jawaban setengah-setengah dan berharap anaknya cukup dengan jawaban itu. Ujung2nya si anak jadi malas bertanya karena malas dijawab. Generasi yang malas bertanya adalah yang tidak kita inginkan bukan? Memang sih, nggak semua pertanyaan memusingkan itu bisa saya jawab. Mentok-mentoknya paling saya bilang jujur nggak tahu dan menyemangati mereka kalau nanti di SD atau SMP atau SMA atau kuliah pasti mereka belajar hal itu. Hihihi.
Kembali ke soal film yang membuat anak menjadi penonton aktif, mungkin sebenarnya sebagian besar film anak2 membuat efek yang sama asalkan ada pendampingan dari kita. Tapi ini lebih melelahkan dan terkadang kita nggak punya waktu. Kita harus ikutin filmnya, inti ceritanya, makna ceritanya kalau ada, syukur2 tuh film berbahasa indonesia jadi kita nggak usah susah payah menjabarkan maksud dan jalan ceritanya. Atau sekalian tokohnya nggak bisa ngomong aja, jadi biar si anak representasiin sendiri dunianya. Hehehe. Nah, sebagai orangtua yang nggak sempurna, tentu saja saya nggak mendampingi mereka saat menonton sebagian besar film. Saya hanya memfilternya lebih dulu si film kira2 cocok nggak buat mereka, atau membahasnya setelah kami bertemu. Tapi ada juga film yang perlu pendampingan dan penegasan pemahaman. Yah, setidaknya saya tetap berupaya kan? :p
2 comments:
kunjungan balik..!! :D
wew.. pasti emak bapaknya lbh banyak lagi koleksi filmnyaaaa :D
hehehe thx fi udah visiting! soal film, emak bapaknya malah gak punya koleksi tuh, cuman penggemar bioskop sejati ajah hehehe
Post a Comment