Besok, 26 Januari 2011, adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-6. Well, well, well, nggak nyangka aja ternyata sudah selama ini. Bahkan udah jauh ngelewatin terrible two, yang kalau dalam ukuran orang Amrik sana, dua tahun pernikahan itu yang jadi titik penting, apakah lanjut atau bercerai. Kalau dipikir2 sih, kok kami berdua bisa ya? Apalagi kalo dipertimbangkan dari kepribadian kami masing-masing. Ugh. Gue yang ampun dah, kaku banget, keras banget, sinis banget, penuh planning, sok ngatur, merasa tahu segala hal, super dominan, sekaligus demokratis abis, fleksibel abis, rendah hati abis, baik hati abis, tulus abis, spontanitas abis, bahkan meski dunia ini memungkinkan didominasi oleh hanya satu orang, gue lebih suka memilih untuk skip aja, coz nilai2 keluarga adalah segalanya bagi gue hehehe. Sementara Ivan orang yang sangat fleksibel, santai, sekaligus meremehkan apapun di atas apapun, dan ia percaya semuanya berjalan dengan sendirinya tanpa campur tangan kita. Hah, bukannya itu sama sekali omong kosong? Hal sepenting nasib maupun hal seremeh seperti membeli air minum di warung pertama yang bisa kita temui, seluruhnya ada di tangan kita. Itu adalah upaya, usaha. Mendominasi keseluruhan paket kehidupan. Doa adalah pengiringnya. Bakat dan keberuntungan melengkapinya sedikit, sementara yang membuatnya sempurna adalah takdir Tuhan.
Hahaha, seperti itulah berbanding terbaliknya kami. Tapi analogi mur dan baut ternyata benar2 berjalan dengan baik di sini. Pasangan mur ya pasti baut. Bukan mur dengan mur. Atau baut dengan baut. Jawabannya hanya kompromi. Meski yaaah, memang sih, masih ada beberapa hal yang belum bisa kami kompromikan, tapi lumayanlah. Setidaknya kami saling menghargai masing2 kami apa adanya.
Nah, sampai di sini, beberapa hari yang lalu seorang teman, ia belum menikah, bertanya, bagaimana sih caranya memastikan bahwa dia adalah seseorang yang tepat? Hmm, bingung juga gue jawabnya. Waktu itu gue cuman tahu begitu aja, bahwa Ivan memang orang yang tepat. Tapi sekarang, setelah mikir dan mikir lagi, sebenarnya memang ada beberapa petunjuk di sana-sini yang gue pakai untuk memilih Ivan.
Pertama adalah buku kecil ketikan Eddie Vedder, berjudul Whom To Marry/Not To Marry, sebagai cover album Pearl Jam ke-3, Vitalogy. Catet ya, bahkan petuah orangtua pun nggak bakalan gue dengerin, tapi yang satu ini, gue bener2 percaya betapa realistisnya hal-hal yang tercantum. Gue pernah bahas sih di postingan sebelumnya, nggak usah lah yaa diulang2 hehehe, pokoknya Eddie berhasil memprovokasi gue jadi seperti ini :
- Nggak mudah percaya bahwa ketertarikan fisik itu artinya cinta
- Nggak gampang untuk jatuh cinta.
- Nggak bisa langsung suka/cinta sama seseorang yang belum dikenal, karena menurut Eddie kita harus tahu kepribadian dan kebiasaannya dulu. Jadi gue selalu hanya suka/cinta sama teman sendiri, hehehe, yah kecuali si orang yang belum dikenal bisa jadi temen dulu untuk beberapa lama, supaya gue bisa memutuskan apakah dia memenuhi syarat apa nggak *berasa princess ajah hahaha*
- Nggak pengen jadi perempuan yang tujuan hidupnya hanya baju, karena jika hal2 yang mewah2 seperti ini sudah menguasai pikiran, jiwa akan jadi tumpul, dan pikiran akan gagal berkembang.
- Pengen jadi perempuan yang bisa berimbang dengan kemampuan berpikir laki2 supaya jadi partner yang baik untuknya.
- Cowok yang sombong, kejam, mau menang sendiri, pemabuk, narkoba, judi adalah harga mati.
- Berjuang untuk tetap hidup adalah hal yang terpenting.
- Dan tetap berada dalam kondisi tubuh yang fit supaya bisa menikmati hidup adalah yang kedua terpenting.
Lumayan banyak, ya? Hehehe, pantesan gue susah punya pacar! Tapi gue ngerasa worth it, lah. Apalagi pas beberapa tahun kemudian gue nemu pencerahan yang kedua, sebuah paragraf dari bukunya Susanna Tamaro, penulis Spanyol, berjudul Va Dove ti Porta il Cuore, Pergilah Kemana Hati Membawamu, keluaran sekitar tahun 2003-2004an.
It said, “Dalam kehidupan setiap lelaki, hanya ada seorang wanita. Bersama wanita itu dia akan mencapai persatuan yang sempurna. Dalam hidup setiap wanita, hanya ada satu lelaki. Dan bersamanya wanita itu menjadi lengkap. Namun hanya sedikit, sangat sedikit manusia yang ditakdirkan untuk bertemu. Sisanya terpaksa hidup dalam ketidakpuasan, dalam kerinduan abadi. Akan ada berapa banyakkah perjumpaan seperti kita? Satu dalam sepuluh ribu, satu dalam sejuta, atau satu dalam sepuluh juta? Pasti satu dalam sepuluh juta. Pasangan-pasangan sisanya adalah hasil kompromi, ketertarikan dangkal yang bersifat sementara, daya tarik fisik, kemiripan karakter, atau sekedar kebiasaan. Kita ini sangat beruntung, ya kan? Siapa yang tahu ada apa di balik semua ini? Siapa yang tahu?”
Waktu pertama kali baca paragraf ini, gue langsung mikir dan mikir. Ini bener banget. Satu dalam sepuluh juta. Siapa yang nggak pengen? Dan siapa yang pengen jadi pasangan-pasangan sisanya? Ya, siapa sangka jika tak hanya fisik dan kemiripan karakter, tapi ternyata juga kebiasaan dan bahkan kompromi adalah hanya sisa? Oke, itu baru pertanyaan pertama, sementara the big question-nya adalah bagaimana kita tahu bahwa saat bersama seorang pria kita menjadi lengkap atau tidak?
Hahaha, pertanyaan pertama aja belum kejawab (apa ia seorang yang tepat), apalagi pertanyaan ini, gimana kita tahu kita lengkap atau nggak saat bersamanya? Well, setidaknya buku kecil Eddie dan satu paragraf Susanna sudah membentuk sedikit demi sedikit proyeksi gue akan seorang pacar, meski keduanya belum bisa menjawab secara sempurna pertanyaan2 di atas. Lumayan lama sih hingga akhirnya gue menemukan satu jawaban praktis, yang sesuai logika dan pengalaman gue, yang mampu menjawab pertanyaan2 maha penting sedunia itu *norak, ih*
Yang satu ini berupa artikel kecil di tabloid, gue lupa judulnya apaan dan dari tabloid apaan *nggak bisa diandalin banget, yak*. Tapi gue inget inti artikelnya, bahwa ada tiga hal yang harus dijadikan prinsip dan pondasi dalam pernikahan, yaitu keuangan, komunikasi dan keluarga. Bukannya kita harus mencari seorang pria yang stabil dan mapan, tapi apakah prinsip keuangan kita sama dengan si dia. Lalu bagaimana cara kita berkomunikasi. Penting bagi pasangan untuk membuka semua jalur komunikasi yang ada, apa adanya, tanpa menyembunyikan rahasia sekecil apapun, dan dilakukan dalam intensitas yang sering. Jadi masing2 saling tahu kondisi terakhirnya. Dan yang terakhir adalah keluarga, nilai2 keluarga seperti apa yang akan dipegang adalah kesepakatan kedua belah pihak.
Ketiga hal itu juga yang gue cari di Ivan, sebelum gue memutuskan memilih dia *bener2 berasa princess dah, gaya luh! :)*. Pandangan kita sama tentang keuangan: memang sih uang itu hal yang penting, tapi masih ada hal-hal yang lebih penting, dan kita adalah manusia yang hidup di hari ini, meski tetap setuju bahwa esok sangat layak untuk ditunggu-tunggu. Setidaknya kita nggak pelit, nggak boros juga, nggak sok kaya, nggak sok miskin juga hahaha. Believe me, gue mengenal beberapa cowok yang, ya ampun, pelit banget *meski itu untuk bayar ongkos angkot*, pokoknya nggak ada manner-nya bangetlah sebagai cowok. Terus dalam hal komunikasi, kita percaya akan konsep keterbukaan dan intensitas. Sebagai cowok, Ivan bahkan nggak malu mengakui kalau ia menangis untuk hal-hal yang benar2 menyedihkan, meski dia tetap jaga gengsi soal minta maaf, hahaha. Dan soal keluarga, kami percaya keluarga adalah yang terpenting. Sebisa mungkin dalam mengambil keputusan apapun, kepentingan keluarga di atas segalanya.
Oya lupa, ada satu bonus kenapa gue akhirnya memilih Ivan: dia itu kocak banget! Hahaha, lumayanlah untuk mentertawakan hidup yang makin semrawut, ya kan? Dan setelah semua syarat ini terpenuhi, gue cukup yakin untuk menentukan bahwa Ivan memang orang yang tepat. Gilak yak, pede luar biasa. Hihihi. Yah, kami sih berdoa untuk ke depannya, semoga ajalah, dengan bekal tiga pondasi dan satu bonus, kami tetap bisa mengarungi hidup senyaman mungkin, entah itu kondisi dompet milyaran *gayus dunk* maupun cepean hehehe. Amiiin…
2 comments:
Wow..
sebuah catatan pernikahan yang luar biasa mbak..
saya kagum sama detil penuturannya..
semoga akan ada ulang tahun pernikahan berikutnya..sampai maut memisahkan..:)
**gak nyangka hasil pemikiran Eddie benar-benar jadi bekal buat mbak Melli..hihihi**
amiin thx doanya yak, Pul!
hehehe Eddie itu emang layak jadi role model kok, besides those beer bottles lho yaaa hihihi
Post a Comment